CERPENKU



Negriku Harga Mati Untukku
Terik  matahari menemani perjalanan tiga gadis berwajah melayu nan teduh di sepanjang jalan perkotaan Seoul, jalan yang memang selalu ramai oleh pejalan kaki serta kendaraan yang tak henti-hentinya menyumbangkan polusi gas karbon monoksida bagi bumi. Mereka sedang  berjalan mengejar waktu menuju kampus tempat mereka menimba ilmu.
Kampus yang mereka tuju berjarak sekitar satu kilo meter dari tempat mereka menetap, asrama khusus bagi penerima beasiswa di Seoul National University. Disanalah semua mahasiwa penerima beasiswa Seoul National University berkumpul dan saling berinteraksi satu sama lain. Semua mahasiswa dari berbagai Negara berbaur dan menjalin komunikasi dengan bahasa pengantar yang digunakan masyarakat disana yaitu bahasa Korea, disamping itu English juga dijadikan sebgai bahasa pengantar kedua. Namun bahasa nasional tiap Negara  tetap digunakan dan dipertahankan. Mulai dari bahasa Melayu, Indonesia, Tagalog, Hindi, Mandarin dan masih banyak lgi. Untuk itu tidak jarang antar mahasiswa berebeda Negara terjadi saling berbagi ilmu bahasa nasional masing-masing.
Salah satu gadis melihat ke arah jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan kirinya seraya berucap kepada dua gadis lain yang berjalan tidak terlalu jauh di belakangnya. ”Kawan I hope we can arrive at our campus on time, oh dear what should we do if we are late?.. come on, hurry up we must arrive at there on time”. 
Mendengar sahabat mereka yang semakin cemas, Femi dan Timi mempercepat langkah kaki mereka seraya mengimbangi kecepatan langkah Yumi yang semakin jauh di depan. “Calm down saudariku, insyaalah kita akan sampai tepat waktu. Tergesa-gesa itu perbuatan syaitan, untuk itu jangan terlalu cemas”. Femi berseru sambil berlari kecil mengejar Yumi yang semakin jauh di depan. Timi tak mau ditinggal sendirian di belakang, ia juga berusaha mengejar Yumi, sehingga mereka bertiga bisa berjalan beriringan.
Setelah mendengar perkataan Femi tadi, Yumi akhirnya memelankan langkah kakinya. Ia kembali melihat jam tangan yang masih menempel di pergelangan tangannya dan ternyata, tadi ia salah melihat angka yang ditujuk oleh jarum jam. Saking tergesa-gesanya pukul 12.00 waktu KST ia kira pukul 01.00. Jarum yang mengarah ke angka satu ternyata bukan jarum pendek melainkan jarum panjang.
“ sorry kawan, ternyata tadi aku salah lihat jam, aku kira sudah jam 01.00  eh ternyata baru jam 12.00. sorry I make you dear tired, kalian kan pada capek ngejer aku”. Yumi memberi penjelasan kepada dua sahabatnya. “It’s ok, no problem dear, Femi and me can understand it. Kamu kan lagi cemas mikirin tugasmu  yang belum kelar-kelar, Jadi kami ngerti kok, kita kan sahabat jadi harus saling mengerti”. Timi merangkul perasaan dan pikiran Yumi yang sedang buyar itu. Kata-kata bijak keluar dari lisannya bak air sungai yang mengalir dengan sendirinya.
Hiruk pikuk kota Seoul yang semakin menjadi-jadi tak menyurutkan semangat ketiga gadis itu dalam meniti langkah demi langkah untuk menuju kampus mereka. Di perjalanan, ketiga gadis itu memperbincangkan maslah perbedaan atmosfir masyarakat di Indonesia dan di korea.
             Timi membuka perbincangan dengan mengungkit kejadian semalam, kejadian yang membuat ketiga gadis berhijab itu terperangah sekaligus geleng-geleng kepala sambil berucap istigfar. “Ommo!!!  kalian ingat kan kejadian tadi malam di restoran tempat kita makan malam itu?”. Femi langsung menyaut, “nae, aku inget banget Ti, apalagi saat Ajussi itu membanting meja sambil menggerutu tentang pekerjaannya, dari yang terlihat mungkin si Ajussi itu lagi setress dengan pekerjaan di kantornnya, terus untuk menghilangkan setressnya minum soju menjadi solusi yang ia ambil”. Yumi meneruskan, “ya mau gimana lagi kawan, minum alkohol kan sudah dilegalkan di sini, It’s difrent with our country. Disini alkohol sudah menjadi minuman yang diproduski secara masal dan bebas diperjual belikan, alhasil kejadian seperti tadi malam itu tidak bisa dihindarkan”. Perbincangan ketiga gadis itu tepat selesai saat mereka memasuki gerbang kampus Seoul National University.
      Tiga tahun sudah ketiga gadis itu menjalani rutinitas perkuliahan di Seoul National University. Masing-masing dari mereka mengambil prodi di fakultas yang berbeda, Yumi Hikmatullah mengambil prodi di fakultas Farmasi, Femi Hasna Kamila mengambil prodi di fakultas Politik, sedangkan Timi Nurul Fauzia mengambil prodi di fakultas  Management, ketiga gadis ceria ini dalam kesehariannya lebih dikenal dengan nama Yumi, Femi, dan Timi. Mereka adalah perwakilan pelajar Indonesia yang beruntung menjadi mahasiswa di universitas ternama Korea, dengan beasiswa penuh hingga sarjana.
      Beasiswa itu merupakan projek yang dibuat pihak Korea dalam rangka memperkenalkan budaya Korea ke manca Negara, khususnya budaya Korea Selatan melalui beasiwa pendidikan. Lebih dari lima puluh pelajar yang berasal dari berbagai Negara berhasil mendapatkan beasiswa itu, termasuk tiga pelajar asal Indonesia itu yaitu.
      “Baiklah kawan kita berpisah di sini, aku hampir terlambat”. Yumi setengah berlari meninggalakan dua sahabatnnya. “Ya bergegaslah Yum, nanti sore aku dan Timi nunggu kamu di sini”.     Femi sedikit meninggikan volume suaranya agar terdengar oleh sahabatnnya yang sudah hampir menghilang di koridor. “Aku duluan juga ya Fem, sampai ketemu nanti sore Assalamu’alikum”. Timi beranjak pergi mencari kelas yang akan ia ikuti  sambil melambaikan tangan kepada Femi.
      Sekarang yang tersisa hanya Femi seorang, ia mulai melangkah menuju ruangan kelasnya. Dalam perjalanan Femi mendengar suara yang meneriakkan namanya. “Fem I am here!!...” teriak seorang lelaki sambil melambaikan tangan. Setelah beberapa saat mata Femi akhirnya menemukan sumber suara tadi.”Oh... Jong In, okay wait a minute”. Femi menghampiri laki-laki yang ia sapa dengan panggilan Jong In itu.
      Jong In adalah teman satu fakultas Femi di fakultas Politik , ia sangat banyak membantu Femi termasuk Yumi, dan Timi dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan di Korea. Ia mengetahui bahwa Femi dan kedua sahabatnya adalah pemeluk Agama Islam, untuk itu ia banyak memberikan informasi kepada Femi mengenai hal-hal dasar yang perlu diketahui sebagai pemeluk agama minoritas di Negara itu. Seperti informasi mengenai tempat yang menyediakan makanan halal, tempat ibadah dan lain-lain.
      Laki-laki dengan nama lengkap Kim Jong In ini merupakan warga asli Korea selatan yang memiliki darah campuran, ibunya berasal dari Indonesia. Sedangkan ayahnya berasal dari Distrik Gangnam Korea Selatan.
      Waktu kecil selain diajarkan berbicara dengan bahasa korea, ia juga diajarkan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia oleh sang ibu. Karena itulah ia bisa mengerti apa yang diucapkan oleh  Femi walaupun dalam bahasa Indonesia.
      “Kelas kita pindah ruangan Fem, makanya aku manggil kamu”, Jong In memberi penjelasan kepada Femi.”Kelas kita memangnya dipindahkan kemana?”, Femi bertanya dengan serius.”Ayo ikuti aku, yang jelas arahnya berlawanan dengan ruangan yang kemarin”, perintah Jong In kepada Femi. Femi menuruti perkataan Jong In dan ia berjalan mengikutinya.
      Jam sudah menunjukkan pukul 05.30 sore waktu KST, waktu bagi ketiga gadis belia itu untuk kembali ke asrama. Sesuai perjanjian tadi siang ketiganya akan berkumpul di tempat biasa mereka saling menunggu yaitu, di taman depan dekat gerbang kampus. Yumi menunggu sendirian di bangku taman,”Femi sama Timi kemana sih, kok belum kelihatan ya?, udah setengah jam aku nunggu disini”, dengan muka lesu Yumi memecet asal layar ponselnya.
      Dari arah depan Femi dan Timi dengan langkah cepat mendekat kea arah Yumi yang sedang duduk. “Sorry kawan, kamu pasti capek nunggu ya?”. Karena merasa bersalah Timi langsung angkat bicara. Yumi menjawab dengan muka yang masih tertunduk, “No problem. Endak terlalu lama kok”. Femi dengan sedikit memelas merajuk kepada Yumi, “Tapi kami merasa bersalah Yum, kamu kan udah nunggu sampe setengah jam”. Yumi dengan senyum terpaksa merangkul bahu kedua sahabatnya, “sudah don’t mansion it, ayo kita balik ke asrama nanti keburu gelap lho..”
      Waktu makan malam sudah tiba, biasanya untuk makan malam ketiga gadis asal Indonesia itu makan malam di luar, dengan bekal rekomendasi tempat dari Jong In.“Yum kita mau makan malam di mana?,” bertanya kepada Yumi yang sedang sibuk dengan layar laptop di hadapannya. “Terserah kalian berdua saja, aku ikut kemana kalian pergi”. Menjawab pertanyaan Femi dengan setengah hati.
      “Fem si Yumi kenapa sih?, what’s wrong with her?, apa dia marah karena kelamaan nuggu kita berdua tadi sore itu ya?”. Timi risau dengan sikap  salah satu sahabatnya itu, dari tadi sejak pulang dari kampus sikap Yumi berbeda dari biasanya, ia tampak lesu dan tak bersemangat. Dan setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya ia respon dengan raut muka yang masam dan acuh.
      Akhirnya makan malam kali ini ketiga gadis itu memutuskan untuk mengajak Jong In bergabung makan malam dengan mereka, sekaligus  meminta rekomendasi tempat makan baru dari  Jong In. Karena Jong In orang asli korea maka ia tahu jelas dimana tempat yang menyediakan makanan halal, tepatnya makanan yang hala dimakan oleh ketiga gadis muslim itu
      “Jong In, kita mau makan ke mana?, kalok bisa kita pergi ke tempat yang dekat ya, aku udah kelapran nih…”,sambil memasang muka memelasnya Timi berkata dengan penuh harap kepada Jong In. “Yes, I’ll chose one near there”. Jong In memimpin di depan sebagai pemandu jalan.
      “Yeee!! we have arrived Ti, ayo cepetan pada masuk!!”, Femi sudah tidak mampu menahan rasa perih yang disebabkan gemuruh dari dalam perutnya. Keempat anak muda itu bergegas masuk ke dalam restoran dan dengan segera duduk melingkari meja yang sudah disiapkan disana.
      Timi, Femi, dan Jong In sangat meninkmati hidangan yang mereka santap, ketiganya sangat lahap memakan makanan yang ada di hadapan mereka. Hal itu sangat berbeda dengan Yumi, dari masuk restoran sampai pesanan makanan terhidang di atas meja, mukanya tak pernah menunjukkan ekspresi yang berbeda. Ia hanya tertegun dan sesekali mengaduk-aduk sup yang ia pesan tanpa mencicipinya sekalipun.
      Kedua sahabatnya yang sedari tadi sedang berkutat dengan sajian makanan di depan mereka, tiba-tiba terhenti dan kemudian saling menyenggol satu sama lain. “Ti cobak kamu perhatiin yumi, dari tadi dia cuma ngaduk-ngaduk makanannya aja, terus lihat deh mukanya kayak lagi mikirin sesuatu yang berat banget”. Femi berbisik ke telinga Timi yang duduk di sebelahnya. “sutt… jangan bereisik, cepet habisisn makananmu nanti kita bicarakan masalah itu di asrama”.
      Setengah jam kemudian, semua makanan yang terhidang di atas meja sudah ludes dan hanya menyisakan setumpuk piring berlemak. Setelah membayar tagihan makanan yang dipesan di kasir, keempatnya segera keluar meninggalakan restoran itu.
      Jong in langsung pulang ke rumahnya, dan  ketiga gadis itu kembali ke asrama mereka. Setelah sampai di dalam kamar Femi langsung memecah keheningan dengan mengajukan pertenyaan kepada Yumi, “Yum kamu lagi ada masalah ya?, kalok lagi ada masalah jangan dipendem sendiri. Cerita sama kita maybe we can help you to resolve your problem. Timi ikutan nimbrung dengan membenarkan perkataan Femi. That’s right yum, we are friend. Itulah gunanya sahabat, buakan hanya ada saat kita bahagia namun, dia senantiasa ada sebagai penopang bagi kita dikala kita sudah tidak bisa menopang sendiri beban kehidupan yang kita jalani.
      Femi dan Timi tepat duduk di depan Yumi yang sedang tertunduk lemas, perlahan-lahan Yumi mulai mengangkat kepalanya dan menatap kedua sahabatnya itu. Ia sudah tak mampu lagi membendung air deras yang ingin keluar dari matanya. Matanya sudah berkaca-kaca dan memerah, tak perlu hitungan detik air itu akhirnya tumpah membasahi pipi merahnya, diiringi dengan isakan pelan.
      Maaf atas sikap aku beberapa hari ini kawan, aku berbuat semauku dan tidak memikirkan perasaan kalian berdua”.Yumi sesekali menyeka butiran bening yang keluar dari mata indahnya. “Sebenarnya beberapa hari ini aku sedang banyak pikiran, dan besok aku berencana akan kembali ke Indonesia.
      Timi dan Femi sontak terkejut dengan kata-kata yang baru saj keluar dari lisan Yumi. “kok bisa Yum?, kamu mau pulang ke Indonesia?, ada apa?”. Tanya Timi menyelidik. “Tadi di kampus aku dipanggil oleh Mr. Lee seung Yoo dekan di kampus kita, beliau memintaku datang ke gedung rektorat. Beliau meminta jawaban dariku atas tawaran yang  ia berikan beberapa hari yang lalu. Dan setelah memikirkannya dengan matang-matang aku menolak tawrannya itu, karean penolakan yang kuberikan terpaksa akau dikeluarkan dari kampus, untuk itu besok aku akan kembali ke Indonesia.  Yumi member penjelasan kepada dua sahabatnya sambil berlinangan air mata.
      Tawaran yang dimaksudkan oleh Yumi adalah tawaran untuk pindah kewarganegaraan. Yumi adalah salah satu mahasiswa yang sangat diperhitungkan di Seoul National university, untuk mempertahankan Yumi dekan kampus memberikan pilihan kepadanya. Pindah kewarganegaraan dan tetap menempuh pendidikan di Universitas itu atau, tidak pindah kewarganegaraan namun dikeluarkan dari Universitas. Dan Yumi memilih keluar dari Universitas daripada harus menggadaikan kewarganegaraannya.
      Keesokan harinya, ketiga gadis itu sudah berada di bandara Icheon. Timi dan Femi hanya bisa melepas kepergian sahabatya itu dengan ikhlas. Semalam mereka sudah berjanji untuk tetap kuat walaupun Yumi sudah tidak bersama mereka lagi di korea.
      “ Kalian harus baik-baik di sini, jaga kesehatan dan tetap berjuang sampai akhir. Maaf aku tak bisa disini berasam kalian lagi”. Yumi memberikan pesan terakhirnya kepada Femi dan Timi.
      Maskapai penerbangan sudah memanggil para calon penumpang dengan tujuan Jakarta. Yumi bergegas membawa kopernya untuk pergi ke ruang tunggu sembari melambai kepada dua sahabatnya yang berusaha terlihat tegar dihadapannya. 
TAMAT

Komentar

Postingan Populer